Jumat, 12 Maret 2010

LAHIR GENIUS, Karena Kondisi Lingkungan Menjadi Idiot

Proses pembentukan Konsep Diri dimulai sejak kita dilahirkan. Ada dua masa kritis yang perlu kita cermati sebagai orang tua dan pendidik. Periode pertama adalah pada usia 0-6 tahun. Periode ini sebenarnya terbagi dua, yaitu usia 0-3 tahun dan 3-6 tahun. Apa yang terbentuk pada tiga tahun pertama dalam hidup seorang anak merupakan fondasi yang akan digunakan sebagai landasan untuk mengkonstruksi dirinya pada tiga tahun kedua. Selanjutnya apa yang telah terbentuk pada 6 tahun pertama hidup anak, akan digunakan sebagai fondasi untuk mengembangkan diri lebih lanjut.

Masa kritis selanjutnya adalah saat anak masuk SD. Lima tahun pertama hidup anak di SD merupakan masa kritis yang jarang atau bahkan tidak pernah diperhatikan orang tua dan pendidik. Mengapa lima tahun di SD ini sangat penting?

Semua ini berhubungan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah. Di Indonesia anak kelas 1 SD sudah dibebani dengan minimal 9 (sembilan) mata pelajaran. Hebatnya lagi, anak-anak kita 'harus' bisa mencapai nilai yang bagus. Kalau tidak baik nilainya, maka akan dicap bodoh, bloon, tolol, goblok, telmi, otak udang, idiot, dan masih banyak istilah 'keren' lainnya (maaf bila saya menggunakan kata-kata yang kurang santun).

Dari semua bidang studi, ada dua bidang studi yang menjadi kunci pembentukan Konsep Diri anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Spanyol.

Kedua bidang studi itu adalah matematika dan bahasa. Mengapa matematika dan bahasa? Di seluruh dunia, saat anak masih di SD, yang diutamakan adalah 3R yaitu, Reading, Writing, and Arithmetic. Atau kalau dalam bahasa Indonesia adalah 3M yaitu, Menbaca, Menulis, dan Menghitung.

Anda mungkin bertanya, "Mengapa kemampuan bahasa dan matematika yang kurang baik dapat berpengaruh negatif terhadap Konsep Diri seorang anak?"
Intisari dari penelitian itu adalah sebagai berikut :
1. Prestasi akademik menentukan Konsep Diri
Pengalaman akademik, baik keberhasilan maupuun kegagalan lebih mempengaruhi Konsep
Diri anak daripada sebaliknya.
2. Level Konsep Diri mempengaruhi level keberhasilan akademik
3. Konsep Diri dan prestasi akademik saling mempengaruhi dan saling menentukan
4. Terdapat variabel lain yang dapat mempengaruhi Konsep Diri dan prestasi akademik

Sekarang coba kita cermati apa yang terjadi di sekolah? Anak, sejak SD kelas 1, telah dijejali dengan begitu banyak materi yang harus dipelajari. Pada saat itu misalnya, kemampuan bahasanya masih kurang bagus. Lalu apa akibatnya? Nilai yang dicapai anak kurang maksimal karena faktor bahasa yang menjadi penghambat. Karena sering mendapat nilai buruk, guru dan orang tua mulai memberi label 'bodoh' pada anak ini. Yang terjadi selanjutnya adalah proses pemrograman atau lebih tepatnya 'pembodohan' anak karena Konsep Diri anak buruk.

Lalu bagaiman dengan matematika? Ini setali tiga uang. Proses pembelajaran matematika di SD sangat tidak manusiawi, bertentangan dengan cara belajar anak, dan sama sekali tidak fun. Di mana saja, bila saya memberikan seminar pendidikan, saya selalu bertanya pada orang tua maupun guru, "Apa mata pelajaran yang paling dibenci atau ditakuti anak didik?". Jawabannya selalu sama, "Matematika". Mengapa anak sampai takut atau benci denagn matematika?

Cara mengajar matematika di sekolah pada umumnya bersifat abstrak. apa maksuknya? Jika mengacu pada Piaget (teori pengembangan kognitif) dan Montessori (proses konstruksi diri anak), maka pada usia SD anak harus belajar dengan cara konkrit. Konkrit maksudnya adalah ada benda yang bisa dilihat dan dipegang anak saat belajar simbol matematika. Angka '1', '2', '3', dan seterusnya ini adalah simbol dan bersifat abstrak. Untuk benar-benar bisa memahami konsep matematika, urutan pembelajaran yang benar adalah dari konkrit, semi abstrak, dan abstrak. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah gaya belajar dan kepribadian anak. Setiap gaya belajar membutuhkan strategi yang berbeda.

Saat anak tidak menguasai konsep yang benar, ditambah lagi kemampuan bahasanya yang masih minim, lalu anak diberi soal cerita, apa yang terjadi? Habislah anak kita. Nilainya pasti jeblok. Hali ini, kalau terjadi berulang kali (repetisi), ditambah lagi orang tua atau guru mengatakan dirinya bodoh (informasi dari figur yang dipandang otoritas), ditambah lagi emosi yang intens yang terjadi dalam diri seorang anak, maka langsung menghasilkan pemrograman pikiran bawah sadar yang sangat powerful. Celakanya lagi, ini program negatif dalam bentuk Konsep Diri yang buruk.

Lalu apa ciri-ciri anak dengan Konsep Diri yang buruk? Pertama, anak tidak atau kurang percaya diri. Kedua, anak takut berbuat salah. Ketiga, anak tidak berani mencoba hal-hal baru. Keempat, anak takut penolakan. Dan kelima, anak tidak suka belajar dan benci sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar